Selasa, 19 Januari 2010

Menulis: Karena Ingin Menulis

Sekian waktu sudah mendapat gembelangan dari Pak Ersis mengenai menulis. Alhamdulillah setiap hari membikin tulisan. Ya minimal satu tulisan lah. Ini sebagi pembuktian bahwa saya serius dalam mengkuti setiap ajaran menulis yang diberikan Pak Ersis melalui FB.

Kesibukan mengajar, kesibukan di luar, kesibukan di FB dan kesibukan melakukan tetek bengek yang lainnya ternyata tidak mempengaruhi yang namanya menulis. Apa sih yang susahnya menulis. Ternyata menulis memang benar-benar mudah. Jauh lebih mudah dibandingkan makan daging itik. Kalau makn daging itik kadang-kadang memakannya bercampur emosi, mulai dari dagingnya yang (istilah Banjarnya) "layat diigut". Beda dengan menulis. Menulis kalau kita menyukainya dan menjadikan menulis sebagai nkebutuhan hidup, duh enak pisan euy.... Lancar rasanya menuangkan pikiran pada tulisan.

Lantas, apa hubungannya dengan "Menulis:Karena Ingin Menulis." Ya saya menulis bukan karena paksaan, bukan karena tuntutan, bukan karena ingin ini, itu, begini, begitu dan sejuta alasan yang menunggu. Saya melakukan kegiatan menulis, ya karena ingin menulis. Apakah salah jika seseorang melakukan menulis karena ingin menulis? Apakah ada Allah melarang di dalam Al-Qur'an bahwasanya yang menulis mendapat dosa? Jawabannya tentu tidak dong.

Lantas bagaimana dengan hadiah buku yang diberikan oleh Pak Ersis kepada saya? Apakah menulis karena untuk mendapatkan buku? Oh tentu tidak, kawan. Saya melakukan menulis, ya karena saya ingin belajar menulis. Saya belajar dengan guru yang bisa menulis. Saya belajar menulis karena ingin bisa menulis. Dan tentu saja menulis karena ingin menulis. Bukan keran ingin dapat buku, atau ingin dapat duti, atau juga ingin jadi pemenang lomba menulis. Mengenai kenapa Pak Ersis memberikan buku kepada saya, silahkan Anda tanyakan langsung pada Beliau? Karena Beliau lah yang berkompeten menjawab pertanyaan itu.

Kampanye menulis yang dipimpin oleh Pak Ersis banyak membuahkan hasil bagi diri saya sendiri, dan mudah-mudahan bagi kawan-kawan juga demikian. Saya yang asalnya patah semangat dalam menulis karena ketakutan yang mendalam akibat membaca berbagai macam buku teori menulis yang harus ini, itu, begini, begitu, yang akhirnya menyulitkan menulis. Setelah banyak diberi arahan, walau hanya melalui FB, semangat menulis kembali lagi. Dan mau belajar dari awal lagi.

Kenangan masa SD juga kembali lagi sewaktu membaca buku "Menulis Sangat Indah" yang tentu saja ditulis oleh Pak Ersis sendiri. Kenangan itu adalah kenangan yang buruk sekaligus lucu juga setelah merenunginya. Begini ceritanya.... eng...ing..eng....:

Ketika masih di SD kalau tidak salah kelas 5, kami disuruh membuat karangan oleh guru kelas. "Anak-anak... hari ini kita belajar mengarang. Karangannya tentang keindahan alam. Pernah melihat pantai?" otomatis semua siswa pada ribut menjawab "Pernah...!!" dengan semangat sekali jawaban itu.
"Siapa saja yang pernah ke pantai" tanya guru kepada siswanya.
"Saya, Bu....saya, Bu...." suasana kelas ribut akibat teriakan histeris anak SD seperti halnya kaula muda yang melihat artis pujannya seraya mengacungkan telunjuk.
"Baiklah, anak-anak... di pantai ada apa saja" tanya guru sekali lagi. Dan suara pun bergemuruh layaknya pasar ikan. Ada yang jawab laut, perahu, pasir, orang-orang, dan sebaginya. Bahkan ada yang berkelahi gara-gara memperebutkan jawaban. "Itu tadi aku yang jawab!"kata salah satu siswa. "Kada, itu aku yang jawab duluan. Ikam cari jawaban sorang." Dan gara-gara rebutan jawaban, adu jotos pun terjadi. Akhirnya pelajaran mengarang dihibur dengan adu jotos dua orang yang memperebutkan jawaban. Keadaan pun reda setelah dilerai oleh guru. Kemudian mereka bersalaman. Sama persis seperti yang dilakukan oleh Ruhut dengan Gayus, tetapi mereka cuma adu mulut saja.

"Mari anak-anak, ini kertas folio. Kalian mengarang di kertas ini, dan jangan ribut. " akhirnya kami semua mengarang dengan semangat dan dipenuhi kekhusuan. Wah kalau diingat-ingat, karangan anak SD lebih bagus ketimbang anak SMA. Anak SD dalam mendeskripsikan apa yang pernah dilihatnya sangat detail menjabarkannya. Bahkan, nama hewan yang kecil di pantai, seperti (kata orang Tanah Bumbu) Pumpum, bulu babi, kepiting batu, dan lain-lain. Ada yang lucu lagi, buah yang bentuknya bulat seperti apel, salah satu family Mangrove diberi nama Buah Khuldi. Saking bingungnya memberi nama lo. Maklum tidak tahu.
Alhamdulillah saya duluan selesai. Dua lembar folio bergaris habis oleh karangan saya. Sementara kawan-kawan satu lembar saja sulit sekali. Bahkan banyak yang belum selesai. Pujian pun mengalir dari mulut kawan-kawan yang membaca punya saya. Bahkan ada yang menyontek sebagian isi karangan itu untuk menyelesaikan punya dia.

Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Hasil karangan dikumpulkan. Perasaan sangat yakin, pasti dapat nilai paling rendah 9. Dan guru pun langsung membaca hasil karangan kami. Pas giliran karangan saya. Alhamdulillah, belum dibaca guru sudah dicaci maki. Entah ada apa, saya pun tak tahu. "Faisal.... dasar tulisan cakar ayam.... tulisan apa ini!" dan sejuta kata makian diberikan. Langsung diberi nilai 6. Ohh... hancur hati ini rasanya. Perjuanganku.... oh.. sia-sia... Kacian deh gue. Sudah diomeli, dicaci maki, dan karangan belum dibaca sudah diberi nilai 6.

Yang namanya siswa SD takut sekali dengan gurunya. Ya, pasrahlah... apa boleh buat, dunia sudah bulat. Karangan, dapat nilai 6. Padahal kawan-kawan yakin sekali kalau nilai yang saya dapatkan pasti 9. Ya namanya anak SD, laki-laki, wajarlah anak segitu tulisan masih cakar ayam. Ini bisanya cuma marah-mara saja tuh guru, baca karangannya nggak. Ribet dah urusannya kalau begini.

Sejak saat itulah saya sangat membenci yang namanya mengarang. Kalau ada pelajaran mengarang, ah... takutnya bukan main. Ketakutan dicaci, dimaki, dihina seperti itulah yang membuat patah sayap.

Sejak merenungi kembali kejadian sewaktu SD itu, saya bisa berpendapat, bahwa guru SD disuruh mengarang bersama siswanya pasti hasilnya lebih hebat siswanya. Ya jelas, soalnya ketika siswanya disuruh mengarang, gurunya meninggalkan kelas, atau mungkin melamunkan sang pacar karena sudah lama membujang, atau juga memang tak bisa mengarang jadi hasil karangan siswa tidak dibaca. Apalagi jaman sekarang, siswa disuruh mengarang guru SMS an sambil berayuan. Jelas itu. Ini fakta yang terjadi di tempat saya, khususnya di Kecamatan Simpang Empat. Mudah-mudahan di tempat Sampeyan, tidak seperti ini.

Inilah problema yang terjadi di sekolah-sekolah. Benar apa yang dikatakan oleh Pak Ersis, banyak guru, dari yang titelnya diploma, sarjana, magister, masih belum bisa menulis. Benar lho. Ini fakta. Saya saja merasa malu setalah membaca buku yang diberikan Pak Ersis. "Hari gini, guru nggak bisa nulis." Wah ini cambuk terbaik bagi saya. Oleh karena itu, saya ingin belajar menulis dan menulis. Menulis, ya karena ingin menulis.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Faisal; Tanah Bumbu, 20 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar / berkonsultasi di sini, tetapi jangan yang berbau SARA.