Rabu, 17 Februari 2010

Menulis: Mengurangi Bicara

Tadi malam saya bertandang ke rumah seorang kawan yang seorang mantan TNI. Saya juga tak pernah tahu mengapa dia sampai keluar dari TNI, apakah dia dikeluarkan dari kesatuan atau memang melarikan diri, saya tidak mau tahu dengan itu. Yang jelas saya berteman. Dia sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Tak pernah rasanya terjadi percekcokan di antara kami berua, walau kadang-kadang sering beradu argumen yang akhirnya melahirkan liur basi yang tak mempunyai arti apa-apa.

Sahabat saya ini seorang yang senang bicara dan berdebat. Bahkan kalau sudah berbicara, dia sepertinya tak mau kalah. Kalau sudah bercerita tentang dirinya, hanya dia sajalah yang paling segalanya. Dan itu kami maklum saja, memang pembawaannya seperti itu. Apalagi kalau sudh berdebat, wah susah deh sepertinya untuk dikalahkan. Berbagai argumen dia keluarkan agar musuh debatnya tak bisa lagi membahas gagasannya.

Kebiasaan, kalau datang ke rumahnya atau dia ke rumah saya, pasti ada saja yang didiskusikan. Dari masalah kehidupan sehari-hari, pekerjaan, berita, perempuan, dan lingkungan masyarakat. Tak habis-habisnya deh kalau berdiskusi dengan dia. Kadang-kadang kalau sudah berdiskusi dengannya, tiga sampai empat jam terasa sebentar sekali rasanya. Kadang-kadang sya juga agak bosan mendengarkaan argumennya, tapi yang namanya teman, apalagi dia sangat baik sekali dengn saya, ya otomatis dengan mau tak mau ya harus mau mendengarkan. Memang dia banyak bicara, tapi hatinya baik. Susah mencari teman seperti dia. Bahkan kalau saya lagi ingin berangkat ke mana saja minta ditemani, pasti dia tak pernah menolak. Tak pernah sekalipun dia menolak permintaan saya.

Lantas apa hubungan dengan "Menulis: Mengurangi Bicara" dengan cerita di atas. Ya ada hubungannya. Sekian waktu saya diberikan arahan, diberikan nasihat oleh Pak Ersis dan kawan-kawan penulis di FB bahwasanya kita lebih baik membuat tulisan daripada menuangkan pikiran melalui sebuah pembicaraan atau perdebatan. Mengapa? Ya kalau kita menuangkan pikiran kita ke dalam tulisan hasilnya pasti ada, yakni sebuah pemikiran yang tertulis. Jelas, dan ada buktinya. Tapi, kalau perdebatan walaupun kita mengeluarkan argumen dengan huibatnya, hasilnya nol. Setelah perdebatan selesai, hanya liur basi saja tertinggal menjadi saksi sebuah perdebatan sambil ditemaani oleh kursi yang sudah mulai bosan diduduki oleh pantat kita.

Kadang kala kita tak sadar, berapa banyak waktu terbuang. Berpa banyak pikiran kita yang tertumpah sia-sia karena tidak ditulis. Padahal, pikiran kita yang tertumpah dalam pembicaraan begitu hebatnya. Kadangkala oraang berdecak kagum mendengarkan kita berorasi, mengeluarkan ide-ide, dan lain sebagainya. Ketika proses pembicaraan selesai, kita pulang ke rumah masing-masing, hasil pembicaraan itu tak berarti. Apalah artinya banyak bicara jika tak mampu berkarya. Saya bukannya mengutuk sahabat saya, tapi saya mengutuk diri ini yang dulunya kok tidak menuangkan pikiran saya ke dalam sebuah tulisan. Inilah yang saya sesalkan. Tapi lebih baik terlambat melakukan daripada tidak sama sekali.

Guru Spiritual saya yang bernama K.H. Muhammad Qohar pernah mengatakan, bahwasanya sesorang yang sukses hidupnya adalah orang yang berani melakukan suatu tindakan yang baik. Orang yang hanya banyak bicara, banyak berdebat, tak menghasilkan apa-apa. Yang dihasilkannya adalah kesombongan bagi yang menang, dan dendam bagi yang kalah. Tapi, kalau kita melakukan sutu tindakan yang baik, hasilnya pasti akan menuai kebaikan baik dari orang lain maupun Allah. Beliau menceritakan, bahwasanya seorang wanita sufi yang bernama Rabiatul Adawiyyah mengatakan bahwa "Ilmu yang paling tinggi daan yang paling hebat di dunia ini adalah ilmu yang orang lain tidak tahu."

Makanya dengan menulis kita mengurangi kebiasaan yang namanya berbicara. Toh dengan menulis kita tidak berbuat gosip, tidak menuduh orang, tidak menggunjing orang, dan tidak berbuat sia-sia. Hasil menulis yang kita buat adalah melahirkan sebuah tulisan. Jadi kalau kita menuis, kita dapat melihat sendiri hasil pikiran yang telah kita tuangkan. Kita dapat kembali mengulang-ulang membaca hasil pikiran kita yang telah tertulis.

Ternyata menulis memang hebat. Dengan menulis, kita bisa kembali membaca kembali pikiran kita yang telah lalu. Walau sampai kapan pun. Dan menuis tentu saja memberi kenangan yang sangat indah.

Bagaimana menurut Sampeyan?
Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 21 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar / berkonsultasi di sini, tetapi jangan yang berbau SARA.