Selasa, 19 Januari 2010

Menulis: Menuai Berkah

Rasanya saya baru satu bulan mengikuti kegiatan menulis yang dikampanyekan oleh Pak Ersis. Ternyata, dengan waktu yang sesingkat itu telah memberikan reward yang paling indah kepada saya. Buku. Ya buku. Buku merupakan barang yang paling berharga bagi saya. Apalagi yang buku yang diberikan oleh Pak Ersis jumlahnya banyak sekali. Dan isinya tulisannya tentu sja memberikan motivasi kepada kita semua agar selalu menulis dan menulis.
Saya bingung dan bercampur haru serta gembira ketika menerima hadiah ini. Saya sempat berpikir, bagaimana caranya membalas kebaikan Pak Ersis kepada saya. Keikhlasan Pak Ersis dalam membina mahasiswanya ternyata tidak hanya sebatas membina saja. Tapi juga mencurahkan segalanya. Coba Anda piker, apakah ada dosen yang mau memberikan buku kepada mahasiswanya, apalagi sampai mengirimkan ke rumah mahasiswanya? Jarang sekali ada. Walau pun ada satu diantara seratus orang dosen itu pun Wallahualam.

Kebanggan, yang jelas bangga. Bukan main, saya pamerkan buku-buku itu kepada kawan-kawan di tempat kerja saya. “Nih, lihat. Saya diberi banyak buku oleh Pak Ersis. Ini tulisan Beliau semua lho…. Ini ada juga tulisan mahasiswanya yang sekarang telah menjadi penulis. Hebat bukan…?” “Iya Hebat eh….” Ya memang hebat… mengapa tidak. Itu hasil karya koq. Hasil karya yang telah membuka mata kita agar kita mau menulis. Kawan-kawan yang di kantor pada bingung. Mereka bingung apa sih hubungannya antara Pak Ersis dengan Faisal. Pak Ersis kan dosen Sejarah, sedangkan Faisal dulu kuliahnya di PBSID. Lha apa hubungannya? Ya, hubungannya Beliau dosen saya, dahn saya mahasiwa Beliau, titik.

Kawan saya juga yang notabene lulusan dari Sejarah, angkatan atas lagi, pada mengeluh pada saya. Dia bilang “selama aku kuliah di Sejarah kada pernah diberi Pak Ersis buku.” Jangan cemburu lah kawan. Pak Ersis kan bisa menilai sendiri. Mau itu mahasiswanya atau bukan, kalau Beliau sedang mau memberi, ya memberi. Jadi kalau pengen diberi buku juga, ikutan menulis dong. Sembari sambil mempromosikan kegiatan menulis dihadapan kawan-kawan. Tapi, dia ngomongnya lain. “Aku kada bisa menulis, pang. Ngalih banar rasanya.” Ooo….jangan begitu Bos. Jangan patah semangat. Kite-kite (kata orang betawi) ini adalah sarjana, guru, pendidik, maka dari itu harus berani menulis. Wong orang yang gak lulus SD aja berani korupsi. Wong para pejabat di pemerintahan aja berani masuk penjara demi korupsi. Mengapa kita tidak mau menulis? Menulis kan bukan korupsi? Menulis kan tidak masuk penjara? Kalau pengen menulis silahkan baca buku ini, atau lihat di http//webersis.com. (sembari mempromosikan buku-buku tulisan Pak Ersis dan Syamsuwal Qomar kepada kawan-kawan)

Menulis dan menulis. Itulah yang selalu terngiang-ngiang di telingan saya.Seolah-olah Pak Ersis selalu mengatakan itu di dekat saya. Ini lah hikmahnya. Inilah barokahnya menulis. Allah Maha Segalanya.

Ketika membaca buku yang Beliau kirimkan kepada saya, ada rasa penyesalan timbul dalam benak ini. Ada rasa pengutukan terhadap diri, mengapa selama ini aku hanya bisa melahirkan sebuah tulisan saja, yakni skripsi doang. Mengapa aku tak bisa menulis artikel? Padahal aku jurusan Bahasa Indonesia, yang notabene jurusan tersebut berkutat pada dunia tulis menulis. Gobloknya diri ini. Koq bisa-bisanya kemarin berguru menulis sama yang nggak bisa menulis, ya? Hanya memandang title saja, tetapi tidak melihat tulisannya. Ternyata selama ini kudibutakan oleh mata sendiri. Mempelajari teori-teori menulis yang membuat mumet otak sehingga membuat tulisah hasilnya nol. Kadang-kadang satu atau dua paragraf mandek di tengah jalan.

Penyesalan sambil ketawa ketika memikirkan sewaktu masih sekolah sampai kuliah dulu. Koq bisa seperti itu ya? Aneh. Dunia memang aneh. Menyimpan segenap rahasia yang kita takkan bisa mengungkapnya jika tidak berani mengungkapnya sendiri.

Ternyata tidak hanya saya, kawan-kawan saya yang seangkatan bahkan senior saya pada belum bisa juga menulis tuh. Entah mengapa demikian? Padahal IP mereka tak kurang dari 3,5 bahkan lebih di atas itu. IP dipamerkan ke mana-mana, tetapi karya tulisnya, duh…duh…duh…. tidak ada tuh. Bahkan yang membuat saya tertawa adalah ketika ingat kawan saya menulis skripsi sampai harus membayar orang membikinkan karyanya. Ya otomatis ketika ujian, tidak ada satupun pertanyaan dari dosen yang mampu dijawabnya. Koq orang seperti ini bisa diluluskan ujian skripsinya, ya? Bingung juga saya, sampai saat ini.

Menulis, menulis dan menulis. Tannpa menulis tak melahirkan karya tulis. Tanpa menulis kita akan menjadi orang yang kerdil. Orang yang terbelakang.

Jangan hanya bisa berdebat, banyak omong, tetapi tak bisa membuat sebuah tulisan. Kalau melihat tulisan orang langsung sinis. Mengatakan inilah yang kurang, itu lah, ite lah, ita lah… dan segudang saudaranya dibawa-bawa ke dalam sebuah perdebatan. Kenapa didebat? Ditulis lah…. Mana tahu yang benar sama yang salah kalau cuma didebat. Coba hebat mana orang yang mendebat dengan yang menulis? Ya, jelas hebat orang yang menulis lah. Orang yang senang mendebat tulisan orang ya cuma bisa mndebat, hanya membuang liur basi hasil guring melandau. Tapi bagi yang menulis, dia menghasilkan tulisan. Dia menghasilkan karya. Di debat ataupun tidak seorang penulis tak akan peduli. Tulisan telah menjadi tulisan. Di debat atau tidak tetap menjadi sebuah tulisan, dan tak mungkin menjadi liur basi.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 19 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar / berkonsultasi di sini, tetapi jangan yang berbau SARA.