Rabu, 17 Februari 2010

Menulis: Membuang Tinta

Beberapa hari yang lalu kondisi tubuh kurang bagus, ditambah lagi dengan berbagai kegiatan dan disertai dengan hujan yang membuat kondisi kesehatan menurun. Apalagi saat ini wabah chikungunya dan demam berdarah yang merebak dan membuat resah masyarakat. Beberapa hari tubuh terasa lemah dan ketakutan muncul kalau-kalau terserang wabah chikungunya. Dan ketika diperiksa ke dokter, untunglah wabah tersebut belum belum menyerang saya, hanya saja gejala typus mulai lagi menggerogoti badan. Ini adalah penyakit klasik yang diderita dan sampai saat ini belum juga sembuh total. Namun, pagi tadi kondisi badan sudah lumayan fit, sehingga menulis bisa dilanjutkan kembali.

Pada saat turun bekerja, dan ketika mebuat tulisan ini, ada saja teman yang menyeletuk "Wah rajin benar menulis, emang nulis apaan?" Sembari terus mengetik saya membalas dengan senyuman saja. Toh, celetukan itu hanya sebatas teguran biasa saja. Dibalas dengan senyuman, beres lah semuanya. Toh lebih baik tersenyum daripada tidak sama sekali. Jari-jari pun dengan riangnya meloncat-loncat di atas tut keyboard sembari diiringi suara pikiran yang terus membisikkan ide dan gagasan. Maka jadilah sebuah tulisan.

Ketika masuk ke dalam kelas dan sembari mengkampanyekan menulis kepada para siswa, dan pada saat itu ada saja siswa yang menyeletuk "Pak, menulis itu menghabiskan tinta." Kontan saja saya tertawa mendengar pernyataannya itu. "Lho kenapa harus takut habis tinta? Emang Menulis membuang tinta kok. Apa ada menulis membuang ingus atau tahi telinga?" mereka pun tertawa semua mendengar statemen saya demikian. "Coba Anda pikir, lebih mahal mana antara pulsa lu dengan pulpen Pilot?" Dia pun terdiam sambil berpikir. Selama ini, kata saya kepada mereka semua, kita terlalu menganggap mahal sesuatu yang murah dan memberikan manfaat kepada kita, tetapi barang yang mahal dan tak membuat manfaat lebih diutamakan. Contohnya, adalah pulsa. Kita sering kali tidak merasa bahwa dalam sehari berapa duit yang kita keluarkan untuk membeli pulsa. Padahal pulsa yag kita gunakan kebanyakan bukan untuk keperluan bisnis atau belajar, tetapi untuk sms-an ria sambil merayu sang pacar, atau memberikan sejuta alasan kepada teman selingkuhan. Mungkin seperti itu.

Berbeda dengan tinta. Berapa sih harganya tinta jadi sampai dipelit-pelitkan amat untuk digunakan menulis. Koq bisa segitunya, ya? Padahal kalau kita pikir secara logika, kalau pulpen yang kita beli dengan seharga Rp.2000,- dapat menulis dengan sangat panjangnya. Bahkan kalau menulis satu buku penuh, pulpen itu tidak akan habis, paling-paling tangan yang pegal. Apa sih susahnya mengeluarkan duit 2000 perak demi membuat suatu karya ketimbang membeli pulsa yang belum tentu dapat menghasilkan apa-apa.

Kadangkala kita tidak memikirkah hal yang demikian. Selama ini yang kita pikirkan adalah hanya senang-senang belaka. Memang, tidak ada larangan untuk membeli pulsa, atau menghabiskan duit sebanyak-banyaknya demi untuk pulsa. Dan di dalam Al-Qur'an juga tidak ada larangan Allah kepada manusia menghabiskan duitnya untuk pulsa. Namun, betapa indahnya jika bisa memilah mana yang lebih bermanfaat dan mana yang tidak. Dan alangkah picik dan pelit perkeditnya kita jika sampai harus tak rela menghabiskan tinta demi membuat sebuah tulisan.

Selama saya ikut kegiatan menulis ini, beberapa kawan-kawan ingin sekali ikut menulis. Mereka bahkan sampai ada yang iri kok saya mampu membuat tulisan sedangkan dia tidak. Dan berbagai arahan seperti yang diberikan oleh Pak Ersis selama ini saya berikan kepada mereka. Bahkan tidak segan-segan saya suruh baca buku-buku yang ditulis oleh Pak Ersis kepada mereka. Ya, mudah-mudahan nantinya mereka benar-benar mau menulis. Syukurlah kalau mereka setuju dengan pikiran yang dituangkan Pak Ersis dalam tulisan itu. Dan kalau tidak menerima, wah ini yang gawat, berarti kawan saya sudah sakit jiwa. Barangkali....

Selama mempraktikan menulis, alhamdulillah tak pernah memperhitungkan berapa besar biaya yang keluar. Baik dari segi bayar listrik karena beban tarikan komputer, belum lagi bayar warnet setiap malamnya, belum lagi bensin, ini, itu, dan sebagainya. Kalau mau dihitung, ya percuma ikut gabung dengan kelompok pecinta menulis. Ngapain menulis harus pakai hitung-hitungan segala. Yang ikhlas sajalah, jangan berpikir karena duit.

Ada saja kawan saya yang lain juga pernah nyeletuk demikian. "Heh, Faisal. Ikam dibayar berapa gerang jadi rajin bener membuat tulisan tarus? kalau kada jadi duit baik kada usah. Apalagi bayar warnet tiap malam, baik dibawa makan kanyang parut." Saya bingung, kok ada ya manusia yang terlalu perhitungan demikian ya. lantas saya jawab, "Emang urusan ikam apa? Mau dapat duit kah, kadada duitnya kah, aku jua. Kada merugikan ikam jua. Toh, duit yang keluar duitku jua, lain duit ikam jua. Ngapain harus sewot. Ngapain harus repot. Toh Gus Dur aja Nggak repot." Kalau sudah berhadapan dengan manusia seperti ini, susahlah rasanya, bahkan membosankan. Mau menjelaskan, di otaknya hanya duit, duit, dan duit belaka. Mungkin nantinya, jika mati ditanya sama Malaikat di dalam kubur pasti jawabannya "DUIT." Mudah-mudahan jangan sampai demikian. Ingatlah Bos, kalau kita ini mau menulis karena berharap suatu materi, Indonesia sampai sekarang nggak bakalan merdeka. Percaya deh!

Kalau begitu, menulis kita harus ikhlas. Ambil hikmah dibalik setiap pengorbanan untuk sebuah tulisan yang kita hasilkan. Hidup jangan terlalu pelit perkedit amat. Toh, Amat saja tidak pelit perkedit. Ikhlas lah menulis. Nyaman kalau menulis itu dengan ikhlas, tanpa paksaan dari siapa pun. Nyaman sekali menulis dengan jiwa yang merdeka. Jangan takut membuang tinta dalam menulis. Jangan takut membayar beban listrik banyak demi menulis. Dan jangan takut bayar warnet setiap malam untuk menulis. Toh kalau ada duitnya, kerjakan. Kalau tidak ada duit pada saat itu, stop ke warnet, tulis saja tulisan kita di rumah. Kan beres. Ngapain harus repot.....Toh Gus Dur juga nggak pernah repot....

Bagaimana menurut Panjenengan?

Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 2 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar / berkonsultasi di sini, tetapi jangan yang berbau SARA.